Pelabuhan Sunda Kelapa, Cikal Bakal Jakarta

Pelabuhan Sunda Kelapa
Mungkin ndak banyak yang tahu, kalo di pelabuhan yang saya kunjungi tersebut merupakan cikal bakal lahirnya Jakarta.
Yang menarik dari Jakarta adalah banyaknya situs-situs bersejarah, yang sayangnya kondisinya sangat banyak yang memprihatinkan.
Menjelajahi situs-situs ini seolah membawa saya membaca kembali buku Sejarah, yang dulu pernah saya benci, namun dengan visualisasi dan sensasi yang menarik.
Salah satunya adalah Pelabuhan Sunda Kelapa, yang konon merupakan pelabuhan perdagangan terbesar setelah Malaka.
Pelabuhan ini pada abad ke-12 merupakan daerah kekuasaan Kerajaan Sunda, yang beribukota di Pakuan Pajajaran (yang kini menjadi Kota Bogor). Bahkan konon pelabuhan ini sudah ada sejak jaman Kerajaan Tarumanegara.
Menyaksikan kapal-kapal Phinisi dan kapal-kapal Bugis Schooner dengan bentuknya yang khas, meruncing pada salah satu ujungnya dan berwarna-warni pada badan kapal, membuat saya bisa membayangkan betapa ramai dan besarnya pelabuhan ini saat itu.
Kapal-kapal tersebut ditambatkan berjejer di kanal sepanjang 3 km. Bahkan di abad ke-17, konon kapal-kapal ini masih dapat melayari muara sungai Ciliwung.
Kemahsyuran pelabuhan milik Kerajaan Sunda ini membuat pelabuhan ramai dikunjungi oleh kapal-kapal dari Palembang, Tanjungpura, Malaka, Makassar, serta pedagang-pedagang dari India dan Tiongkok. Dari bandar ini lah merica, beras, porselen, kopi, sutra, kain, wangi-wangian, kuda, anggur, hingga emas diperdagangkan.
Seorang penjelajah asal Portugis, Tome Pires, yang mendarat di Sunda Kelapa sekitar tahun 1512-1515 menuliskan dalam dokumen, bahwa Pelabuhan Sunda Kelapa menjadi penyangga sejumlah pelabuhan di Nusantara seperti Sumatera, Palembang, Laue, Tanjungpura, Malaka, Makassar, dan Madura.
Pun demikian kesan yang saya tangkap ketika melihat aktivitas di pelabuhan ini. Kapal-kapal modern yang terletak di kanal sebelah timur, terlihat mengangkut berbagai komoditas “berat” yang hendak dibawa ke luar Jawa. Sedangkan kapal-kapal tradisional ditambatkan di kanal sebelah barat membawa komoditas yang “lebih ringan”.
Melihat aktivitas para kuli panggul membawa barang di pundaknya, kemudian meniti sebatang balok kayu yang ditopangkan miring ke badan kapal sebagai jembatan, merupakan pemandangan yang cukup menarik.

Saya hanya begidik ngeri dan urung mencoba meniti batang kayu ini setelah melihat laut yang ada di bawah. Kecemplung ke laut karena melakukan tindakan konyol tentu bukanlah hal yang bijaksana.

Kehidupan para anak buah kapal pun bisa kita lihat lebih dekat. Mulai dari mencuci pakaian, membersihkan kapal, memperbaiki jangkar, mengecat lambung kapal, semua bisa kita saksikan.
Saya tertegun ketika melihat sepasang suami-istri beserta anak-anaknya yang mendayung perahu mungil menelisip di antara badan-badan kapal yang besar. Hendak ke mana kah, mereka?

Siapa kah yang menyangka, kalo dari pelabuhan inilah, Kota Batavia, cikal bakal Jakarta berawal.
Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis melalui Alfonso d’ Albuquerque tahun 1511 membawa lembaran sejarah baru.
Portugis membuat perjanjian dengan Kerajaan Pasundan yang memberikan hak bagi orang-orang Portugis membangun gudang dan benteng di kawasan ini. Sebagai imbalannya, Portugis akan membantu kerajaan Pasundan yang kala itu beragama Hindu melawan serangan dari Kerajaan Islam Demak.
Perjanjian ini kemudian ditulis di sebuah prasasti batu yang diberi nama Padrao. Prasasti Padrao ini dapat dilihat di Museum Nasional (Museum Gajah).
Serangan pasukan Kerajaan Demak yang dibantu Cirebon di bawah pimpinan Fatahillah untuk mengusir Portugis akhirnya berhasil merebut Sunda Kelapa.
Fatahillah pun akhirnya mengubah nama Sunda Kelapa menjadi “Jayakarta” yang berarti “kota kemenangan”, pada tanggal 22 Juni 1527. Tanggal inilah yang kemudian dipakai sebagai “tanggal lahir” kota Jakarta.
Akhir abad ke-16, Jan Pieterszoon Coen berhasil merebut Jayakarta. J.P. Coen kemudian membangun kota baru yang disebut dengan nama Batavia, yang diduga lokasinya adalah di situs Kota Tua sekarang.
Kapasitas Pelabuhan Sunda Kelapa yang tidak dapat menampung jumlah kapal yang masuk, membuat pemerintah Belanda membangun Pelabuhan Tanjung Priok.
Selain itu, pemerintah Belanda juga membangun jalur trem yang ditarik oleh kuda untuk membawa komoditas dari Tanjung Priok ke Batavia pada tahun 1869 dan jalan kereta api pertama antara Batavia-Buitenzorg (Bogor) pada tahun 1873.

Sore itu kami mencoba menelusuri jalur kejayaan Batavia dan Sunda Kelapa. Menggunakan jasa ojek sepeda, kami menyusuri jalan dari situs Kota Tua ke Pelabuhan Sunda Kelapa.
Sore yang cerah, menawarkan pemandangan senja di pelabuhan, membuat kami termotivasi.
Jejak-jejak kejayaan Sunda Kelapa tidak dapat kami temukan lagi. Kasteel atau benteng Belanda yang dulu kokoh berdiri sudah tiada berbekas.
Ketika kami berkunjung, kami ndak sempat berkunjung ke Menara Syahbandar (Lookout Tower) yang dibangun pada tahun 1839. Mungkin lain kali?
Ah, rasanya Museum Bahari yang merupakan bekas Westzijdsche Pakhuizen (gudang rempah-rempah Belanda) akan menjadi destinasi saya selanjutnya.
Berawal dari Sunda Kelapa, Jayakarta, Batavia, terakhir sebutannya menjadi Jakarta. Berbagai peristiwa yang menjadi dasar perubahan nama-nama tersebut, membuat pelabuhan ini layak disebut sebagai Bandar Empat Zaman.
Selain memiliki nilai sejarah, pelabuhan ini juga mempunyai nilai ekonomi, sosial, dan budaya.
Akankah pelabuhan ini lekang ditelan zaman?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar