Museum Taman Prasasti, Bekas Makam Tertua Batavia

Museum Taman Prasasti
Suasana angker, kumuh, mengerikan, kotor, langsung sirna begitu menjejakkan kaki ke areal yang luasnya sekitar 1,3 hektar ini. Memang kesan menakutkan masih sedikit terasa karena berbagai bentuk batu nisan yang berada di lokasi ini.
Menuju ke tempat ini sangatlah mudah. Dengan menggunakan TransJakarta, saya turun di halte Monumen Nasional, tepat di depan gedung Museum Nasional (Museum Gajah).
Dari sini, saya berjalan sedikit ke arah utara, menuju ke sebuah jalan kecil di antara gedung Museum Nasional dan Gedung Depkominfo (Jl. Museum) ke arah barat, kemudian menyeberangi Kali Krukut menuju ke utara hingga menemukan Jl. Tanah Abang 1. Jika ogah repot, kita bisa naek ojek dari pertigaan dekat Depkominfo.
Suasana di sekitar sini sangat rapi dan bersih. Trotoar yang cukup lebar membuat saya lebih memilih berjalan kaki menikmati suasana.
Sebelum masuk areal museum, kita akan disambut oleh sebuah bangunan bergaya Doria yang dibangun pada tahun 1844 sebagai gerbang masuk. Di dalam bangunan ini terdapat ruangan di sayap kanan-kiri yang berfungsi untuk menyemayamkan jenazah.

Gerbang Museum Taman Prasasti
Seperti pada museum-museum lainnya di Jakarta, museum yang pengelolaannya berada dalam satu manajemen dengan pengelola Museum Sejarah Jakarta (Museum Fatahillah) ini beroperasi setiap Selasa hingga Minggu, mulai pukul 9 pagi hingga 3 sore. Museum ini juga tutup pada hari Senin dan hari libur nasional.
Makam kuno (Kerkhof Laan) ini awalnya bernama Kebon Jahe Kober, yang didirikan pada tanggal 28 September 1795. Saat itu kondisi Batavia sangat padat dan tidak sehat sehingga banyak warga yang terkena penyakit dan meninggal. Pemakaman di depan gereja pun tidak sanggup menampung sehingga pemkot Batavia kemudian mencari lahan di luar kota Batavia yang berada di sebelah selatan.
Areal makam ini dulunya sangat luas, mencapai sekitar 5,9 hektar. Posisinya yang dekat dengan Kali Krukut membuat posisi makam ini sangat strategis. Kali Krukut pada masa itu bahkan digunakan sebagai moda transportasi untuk mengangkut jenazah dan rombongan pengantar dengan menggunakan perahu.
Museum Taman Prasasti diresmikan pada tanggal 9 Juli 1977 oleh gubernur saat itu, Ali Sadikin, setelah selama 2 tahun jenazah-jenazah yang ada di makam ini direlokasi pada tahun 1975-1977. Sejak Agustus 2003, pengelolaan museum yang terletak persis di sebelah kantor Walikota Jakarta Pusat ini, bergabung dengan manajemen Museum Sejarah Jakarta.
Begitu masuk, kita akan mendapati beberapa pilar-pilar yang di tiap sisinya terdapat prasasti nisan. Gubernur Ali Sadikin yang saat itu mempunyai ide untuk menata prasasti-prasasti tersebut ke dalam pilar-pilar sehingga lebih rapi dan tertata, namun rupanya pemerintah Belanda tidak menyetujui ide ini, sehingga terkesan pembangunan pilar-pilar ini belum rampung.

Pilar-pilar prasasti
Kompleks makam ini terbagi atas 10 blok yang mengikuti kontur parit dan menyimpan hampir 1.500 koleksi. Bila bingung hendak ke mana, ikuti saja jalur semen yang mengelilingi kompleks ini. Sesekali keluar jalur untuk mengeksplorasi dan melihat-lihat nisan juga tak mengapa.
Nisan-nisan yang terdapat di sini beraneka rupa bentuk dan bahannya. Dari angka tahun yang tertulis di nisan, rata-rata berangka tahun wafat 1800-1900-an. Yang dimakamkan di sini pun beragam, awalnya hanya diperuntukkan oleh kaum bangsawan dan pejabat VOC/Batavia, namun seiring waktu masyarakat umum pun diterima, tentunya dengan membayar sejumlah tertentu.

Contoh Heraldik
Logo Heraldik yang terpampang di nisan menunjukkan garis keturunan keluarga. Ada keturunan keluarga Cornelis Breekpot (militer), Jonatan Michielsz (saudagar Portugis, mardjiker), Cornelis Lindius (agamawan gereja), Juffrow Sara Pedel (saudagar), Catharina van Doorn (anggota dewan Hindia-Belanda), dan Jacques de Bollan (anggota dewan kota Batavia).
Logo Heraldik adalah semacam lambang status sosial, yang diberikan kepada suatu keluarga karena memiliki jasa-jasa tertentu. Logo ini biasanya dipasang di foto seseorang yang menunjukkan identitas keluarganya.
Tiap-tiap logo memiliki berbagai macam informasi yang disimbolkan dalam gambat-gambar penyusunnya. Biasanya simbol-simbol ini berisi falsafah hidup, semboyan, dan ajaran kebaikan.
Saya berniat untuk berjalan dengan mengikuti jalur ke arah kiri. Belum saya melangkah, pandangan mata saya tertahan pada sebuah dinding dengan prasasti di tengah dan ada hiasan tengkorak yang tertancap pedang. Inilah prasasti Pieter Erbelrveld, seorang campuran Jerman dan Thailand yang membenci orang-orang Belanda.

Monumen Pieter Erberveld
Ketika tertangkap, Erberveld diganjar hukuman yang sangat kejam. Tangan dan kakinya diikatkan ke 4 ekor kuda kemudian ditarik ke 4 arah yang berbeda. Tentu saja badannya robek dan berhamburan di jalan. Lokasi tempat eksekusi Erberveld yang terletak di tepi Jacatra-weg ini kini dikenal dengan Jalan (Kampung) Pecah Kulit, yang sekarang menjadi Jalan Pangeran Jayakarta.
Kepala Erberveld ini kemudian ditusuk dengan pedang dan dijadikan monumen sebagai peringatan kepada warga agar tidak melawan Belanda. Sebuah prasasti sepanjang sekitar 8 meter pun dibuat yang berisi peringatan dalam bahasa Belanda dan Jawa untuk tidak mendirikan bangunan atau menanam tumbuhan di sekitar monumen.
Prasasti yang terletak di Kampung Pecah Kulit ini kemudian dipindahkan ke Museum Taman Prasasti. Namun tengkorak dan pedang di prasasti ini tentu hanya replika.


Nissan H.F. Roll
Roll adalah seorang dokter Belanda yang berpikiran maju. Dia mengusulkan pendidikan kedokteran pribumi harus sama dengan pendidikan dokter di Belanda. Roll pun sempat menjadi direktur STOVIA, di mana pergerakan Budi Utomo lahir di sana.
Ndak jauh dari nissan H.F. Roll, ada sebuah bangunan mungil yang kini berfungsi sebagai gudang. Di bangunan itu dulunya ditemukan mumi dari keluarga keluarga A.J.W. Van Delben. Mumi itu sekarang entah berada di mana.

Rumah Van Delben
Seperti yang saya ceritakan di awal, jenazah dibawa dari kota Batavia ke pemakaman dengan menggunakan perahu yang melalui Kali Krukut, kemudian jenazah dibawa ke pemakaman dengan menggunakan kereta kuda ini. Jumlah kuda yang menarik kereta menunjukkan status sosial si jenazah.
Dulu terdapat lonceng perunggu yang terpasang pada tiang besi setinggi 4 meter yang berada di pelabuhan, yang jaraknya kurang lebih 500 meter dari makam. Ketika jenazah tiba di pelabuhan, lonceng ini akan dibunyikan sebagai tanda jenazah telah tiba.

Kereta jenazah tua

Nisan Olivia Mariamne Raffless
Kapiten Jas adalah sebuah legenda. Diduga nama ini berhubungan dengan Jassen Kerk, sebuah gereja Portugis di luar kota lama. Pada abad ke-17, karena kondisi Batavia yang tidak sehat, banyak warga meninggal dan dimakamkan di halaman gereja ini. Tanah pemakaman di halaman gereja inilah yang disebut dengan “tanah Kapiten Jas”.
Lantas, siapakah yang dimakamkan di sana? Entah lah, namun menurut salah seorang penjaga museum, jasad yang ada di situ ketika direlokasi mengalami hambatan, yaitu peti matinya terlilit akar pohon yang tumbuh di sampingnya.

Nisan Kapiten Jas
Memang di beberapa tempat terdapat hiasan-hiasan berupa malaikat, manusia bersayap, wanita cantik, dan sebagainya. Ada juga bentuk-bentuk bangunan dengan arsitektur yang indah. Ndak heran banyak syuting, pemotretan pre-wedding yang mengambil lokasi ini.
Di beberapa sudut tersedia bangku-bangku taman. Sesuai dengan namanya, Museum Taman Prasasti ini memang layak dijadikan taman tempat berekreasi. Sembari duduk-duduk menikmati keteduhan suasana karena di sini tumbuh berbagai jenis pohon yang rindang.

Nisan Soe Hok Gie
Selain Soe Hok Gie, ada juga nisan Miss Riboet. Miss Riboet adalah penyanyi dan penari terkenal dari kelompok seni Orion Junior yang didirikan oleh suaminya, Tio Tek Djien, pada tahun 1925. Selain menari, Miss Riboet piawai memainkan pedang.
Karir Miss Riboet makin terkenal ketika dia memainkan peran sebagai perampok wanita dalam lakon berjudul Juanita de Vega karya Antoimette de Zema. Namun karir kelompok seni ini berakhir pada tahun 1934 ketika dua orang penulis naskah mereka, Njoo Cheong Seng dan Fifi Young, pindah ke kelompok sandiwara asal Surabaya yang menjadi saingan berat Orion. Miss Riboet meninggal di Jakarta pada tahun 1965.

Nisan Miss Riboet
Batu nisannya unik. Sekilas bentuknya seperti lingga, dengan ukiran antefix seperti yang dapat ditemukan pada hiasan beberapa candi di Jogja.

Nisan Dr. J.L. Andries Brandes
Ada juga nisan J.H.R. Kohler, seorang panglima tinggi militer Batavia yang gugur ketika melakukan ekspedisi ke Aceh. Kohler gugur karena salah sasaran, seharusnya menyerang Kerajaan Aceh, namun justru menyerang sebuah masjid. Masyarakat pun melakukan perlawanan dan Kohler tewas tertembak di dada pada tahun 1879.
Ketika hendak mengakhiri kunjungan, saya tertarik dengan sebuah bangunan di sebelah selatan gerbang masuk. Sebuah aula yang tertutup rapat mengusik rasa penasaran saya. Ketika saya bertanya kepada penjaga museum, dia malah mengajak saya masuk ke dalam melalui jendela karena pintu utamanya rusak.
Rupanya aula ini tempat menyimpan peti jenazah proklamator kita, Bung Karno dan Bung Hatta. Peti bung Hatta di sebelah utara (kiri) dan peti Bung Karno di sebelah selatan (kanan).
Si penjaga pun mengijinkan saya melihat isi peti. “Semua masih asli”, kata penjaga itu. Saya melihat isi peti yang mulai lapuk kain dan bantalan di dalamnya karena dimakan usia.

Peti jenazah Bung Karno dan Bung Hatta
Yang menarik, makam Kebon Jahe Kober (1795) bahkan bisa dibilang salah satu makam tertua di dunia. Lebih tua dari Fort Cannin Park (1926) di Singapura, Gore Hill Cemetery (1868) di Sidney, La Chaise Cemetery (1803) di Paris, Mount Auburn Cemetery (1831) di Cambridge yang diklaim sebagai makam modern pertama di dunia, atau Arlington National Cemetery (1864) di Washington DC.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar