Sabtu, 15 Oktober 2011

Museum Taman Prasasti, Bekas Makam Tertua Batavia


Museum Taman Prasasti, Bekas Makam Tertua Batavia

Museum Taman Prasasti
Museum Taman Prasasti
Berkunjung ke Museum Taman Prasasti, yang terletak di Jl. Tanah Abang 1 No. 1, Jakarta Pusat, rupanya mampu melemparkan saya ke suasana yang sangat berbeda. Museum yang dulunya memang merupakan areal pemakaman kuno pada masa Batavia ini memang memberikan nuansa sepi, sejuk, dan tenang, terutama di tengah hiruk-pikuknya Jakarta.
Suasana angker, kumuh, mengerikan, kotor, langsung sirna begitu menjejakkan kaki ke areal yang luasnya sekitar 1,3 hektar ini. Memang kesan menakutkan masih sedikit terasa karena berbagai bentuk batu nisan yang berada di lokasi ini.
Menuju ke tempat ini sangatlah mudah. Dengan menggunakan TransJakarta, saya turun di halte Monumen Nasional, tepat di depan gedung Museum Nasional (Museum Gajah).
Dari sini, saya berjalan sedikit ke arah utara, menuju ke sebuah jalan kecil di antara gedung Museum Nasional dan Gedung Depkominfo (Jl. Museum) ke arah barat, kemudian menyeberangi Kali Krukut menuju ke utara hingga menemukan Jl. Tanah Abang 1. Jika ogah repot, kita bisa naek ojek dari pertigaan dekat Depkominfo.
Suasana di sekitar sini sangat rapi dan bersih. Trotoar yang cukup lebar membuat saya lebih memilih berjalan kaki menikmati suasana.
Sebelum masuk areal museum, kita akan disambut oleh sebuah bangunan bergaya Doria yang dibangun pada tahun 1844 sebagai gerbang masuk. Di dalam bangunan ini terdapat ruangan di sayap kanan-kiri yang berfungsi untuk menyemayamkan jenazah.
Gerbang Museum Taman Prasasti
Gerbang Museum Taman Prasasti
Di salah satu ruang bekas ruang penyemayaman jenazah inilah kita bisa membeli tiket untuk masuk ke museum ini. Dengan tiket seharga 2 ribu rupiah, kita bisa menjelajah setiap sudut area museum.
Seperti pada museum-museum lainnya di Jakarta, museum yang pengelolaannya berada dalam satu manajemen dengan pengelola Museum Sejarah Jakarta (Museum Fatahillah) ini beroperasi setiap Selasa hingga Minggu, mulai pukul 9 pagi hingga 3 sore. Museum ini juga tutup pada hari Senin dan hari libur nasional.
Makam kuno (Kerkhof Laan) ini awalnya bernama Kebon Jahe Kober, yang didirikan pada tanggal 28 September 1795. Saat itu kondisi Batavia sangat padat dan tidak sehat sehingga banyak warga yang terkena penyakit dan meninggal. Pemakaman di depan gereja pun tidak sanggup menampung sehingga pemkot Batavia kemudian mencari lahan di luar kota Batavia yang berada di sebelah selatan.
Areal makam ini dulunya sangat luas, mencapai sekitar 5,9 hektar. Posisinya yang dekat dengan Kali Krukut membuat posisi makam ini sangat strategis. Kali Krukut pada masa itu bahkan digunakan sebagai moda transportasi untuk mengangkut jenazah dan rombongan pengantar dengan menggunakan perahu.
Museum Taman Prasasti diresmikan pada tanggal 9 Juli 1977 oleh gubernur saat itu, Ali Sadikin, setelah selama 2 tahun jenazah-jenazah yang ada di makam ini direlokasi pada tahun 1975-1977. Sejak Agustus 2003, pengelolaan museum yang terletak persis di sebelah kantor Walikota Jakarta Pusat ini, bergabung dengan manajemen Museum Sejarah Jakarta.
Begitu masuk, kita akan mendapati beberapa pilar-pilar yang di tiap sisinya terdapat prasasti nisan. Gubernur Ali Sadikin yang saat itu mempunyai ide untuk menata prasasti-prasasti tersebut ke dalam pilar-pilar sehingga lebih rapi dan tertata, namun rupanya pemerintah Belanda tidak menyetujui ide ini, sehingga terkesan pembangunan pilar-pilar ini belum rampung.
Pilar-pilar prasasti
Pilar-pilar prasasti
Meskipun di sini saya menyebutnya makam, namun semua jenazah yang ada di sini sudah dipindahkan. Ada yang dikembalikan ke keluarganya di negeri Belanda, sebagian dipindahkan ke pemakaman Menteng Pulo, dan beberapa dimakamkan di pemakaman umum lain semacam Tanah Kusir.
Kompleks makam ini terbagi atas 10 blok yang mengikuti kontur parit dan menyimpan hampir 1.500 koleksi. Bila bingung hendak ke mana, ikuti saja jalur semen yang mengelilingi kompleks ini. Sesekali keluar jalur untuk mengeksplorasi dan melihat-lihat nisan juga tak mengapa.
Nisan-nisan yang terdapat di sini beraneka rupa bentuk dan bahannya. Dari angka tahun yang tertulis di nisan, rata-rata berangka tahun wafat 1800-1900-an. Yang dimakamkan di sini pun beragam, awalnya hanya diperuntukkan oleh kaum bangsawan dan pejabat VOC/Batavia, namun seiring waktu masyarakat umum pun diterima, tentunya dengan membayar sejumlah tertentu.
Contoh Heraldik
Contoh Heraldik
Informasi dari batu nisan dan prasasti yang ada inilah kita bisa mengetahui komposisi penduduk Batavia pada saat itu. Dari bahasa yang tertulis di nisan, kita juga akan mendapati bangsa-bangsa yang ada. Bentuk-bentuk hiasan menunjukkan pola arsitektur yang berkembang saat itu, mulai dari arsitektur klasik, neo-gothic, dan Hindu-Jawa.
Logo Heraldik yang terpampang di nisan menunjukkan garis keturunan keluarga. Ada keturunan keluarga Cornelis Breekpot (militer), Jonatan Michielsz (saudagar Portugis, mardjiker), Cornelis Lindius (agamawan gereja), Juffrow Sara Pedel (saudagar), Catharina van Doorn (anggota dewan Hindia-Belanda), dan Jacques de Bollan (anggota dewan kota Batavia).
Logo Heraldik adalah semacam lambang status sosial, yang diberikan kepada suatu keluarga karena memiliki jasa-jasa tertentu. Logo ini biasanya dipasang di foto seseorang yang menunjukkan identitas keluarganya.
Tiap-tiap logo memiliki berbagai macam informasi yang disimbolkan dalam gambat-gambar penyusunnya. Biasanya simbol-simbol ini berisi falsafah hidup, semboyan, dan ajaran kebaikan.
Saya berniat untuk berjalan dengan mengikuti jalur ke arah kiri. Belum saya melangkah, pandangan mata saya tertahan pada sebuah dinding dengan prasasti di tengah dan ada hiasan tengkorak yang tertancap pedang. Inilah prasasti Pieter Erbelrveld, seorang campuran Jerman dan Thailand yang membenci orang-orang Belanda.
Monumen Pieter Erberveld
Monumen Pieter Erberveld
Pieter Erberveld begitu membenci pemerintah Batavia yang sewenang-wenang. Beberapa kali Pieter Erbelverd melakukan perlawanan terhadap pemerintah dengan dibantu oleh Raden Kartadriya. Belanda menuduh Erbelverd hendak melakukan pemberontakan dan melakukan pembantaian terhadap etnis Belanda.
Ketika tertangkap, Erberveld diganjar hukuman yang sangat kejam. Tangan dan kakinya diikatkan ke 4 ekor kuda kemudian ditarik ke 4 arah yang berbeda. Tentu saja badannya robek dan berhamburan di jalan. Lokasi tempat eksekusi Erberveld yang terletak di tepi Jacatra-weg ini kini dikenal dengan Jalan (Kampung) Pecah Kulit, yang sekarang menjadi Jalan Pangeran Jayakarta.
Kepala Erberveld ini kemudian ditusuk dengan pedang dan dijadikan monumen sebagai peringatan kepada warga agar tidak melawan Belanda. Sebuah prasasti sepanjang sekitar 8 meter pun dibuat yang berisi peringatan dalam bahasa Belanda dan Jawa untuk tidak mendirikan bangunan atau menanam tumbuhan di sekitar monumen.
Prasasti yang terletak di Kampung Pecah Kulit ini kemudian dipindahkan ke Museum Taman Prasasti. Namun tengkorak dan pedang di prasasti ini tentu hanya replika. :D
Nissan H.F. Roll
Nissan H.F. Roll
Tak jauh saya melangkah dari prasasti Erberveld, saya menemukan nisan makam H.F. Roll, si pendiri STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen), sekolah tinggi kedokteran untuk kaum pribumi. Nisannya dapat dengan mudah dikenali dari bentuk buku terbuka yang menjadi hiasan nisan.
Roll adalah seorang dokter Belanda yang berpikiran maju. Dia mengusulkan pendidikan kedokteran pribumi harus sama dengan pendidikan dokter di Belanda. Roll pun sempat menjadi direktur STOVIA, di mana pergerakan Budi Utomo lahir di sana.
Ndak jauh dari nissan H.F. Roll, ada sebuah bangunan mungil yang kini berfungsi sebagai gudang. Di bangunan itu dulunya ditemukan mumi dari keluarga keluarga A.J.W. Van Delben. Mumi itu sekarang entah berada di mana.
Rumah Van Delben
Rumah Van Delben
Sebuah kereta yang terpajang tak jauh dari situ menarik perhatian saya. Rupanya itu adalah kereta jenazah yang pernah dipakai untuk mengangkut jenazah dari pelabuhan Kali Krukut ke pemakaman Kebon Jahe Kober.
Seperti yang saya ceritakan di awal, jenazah dibawa dari kota Batavia ke pemakaman dengan menggunakan perahu yang melalui Kali Krukut, kemudian jenazah dibawa ke pemakaman dengan menggunakan kereta kuda ini. Jumlah kuda yang menarik kereta menunjukkan status sosial si jenazah.
Dulu terdapat lonceng perunggu yang terpasang pada tiang besi setinggi 4 meter yang berada di pelabuhan, yang jaraknya kurang lebih 500 meter dari makam. Ketika jenazah tiba di pelabuhan, lonceng ini akan dibunyikan sebagai tanda jenazah telah tiba.
Kereta jenazah tua
Kereta jenazah tua
Masih di blok yang sama, saya melihat batu nisan Olivia Mariamne Raffles, istri pertama Thomas Stamford Raffless saat masih menjabat jadi Gubernur Letnan Jawa ketika pemerintahan Inggris. Olivia begitu mencintai dunia tanaman dan dia lah yang mencetuskan ide pembangunan Kebun Raya Bogor. Saat Olivia meninggal pada usia 43 tahun, dibuatlah sebuah monumen di Kebun Raya Bogor yang dipersembahkan untuk Olivia Raffles.
Nisan Olivia Mariamne Raffless
Nisan Olivia Mariamne Raffless
Masih di sekitar situ, ada sebuah nisan yang unik menurut saya, berada tepat di bawah sebuah pohon. Hanya sebuah tulisan yang ada di batu nisan yang berbunyi, Kapiten Jas. Siapakah dia?
Kapiten Jas adalah sebuah legenda. Diduga nama ini berhubungan dengan Jassen Kerk, sebuah gereja Portugis di luar kota lama. Pada abad ke-17, karena kondisi Batavia yang tidak sehat, banyak warga meninggal dan dimakamkan di halaman gereja ini. Tanah pemakaman di halaman gereja inilah yang disebut dengan “tanah Kapiten Jas”.
Lantas, siapakah yang dimakamkan di sana? Entah lah, namun menurut salah seorang penjaga museum, jasad yang ada di situ ketika direlokasi mengalami hambatan, yaitu peti matinya terlilit akar pohon yang tumbuh di sampingnya.
Nisan Kapiten Jas
Nisan Kapiten Jas
Mengikuti jalur yang ada, saya pun berkeliling. Batu nisan berbagai bentuk rupanya menarik perhatian serombongan anak SMA untuk berfoto-foto. Dengan menggunakan kostum ala vintage, mereka berpose di atas nisan atau berlatar belakang suasana makam.
Memang di beberapa tempat terdapat hiasan-hiasan berupa malaikat, manusia bersayap, wanita cantik, dan sebagainya. Ada juga bentuk-bentuk bangunan dengan arsitektur yang indah. Ndak heran banyak syuting, pemotretan pre-wedding yang mengambil lokasi ini.
Di beberapa sudut tersedia bangku-bangku taman. Sesuai dengan namanya, Museum Taman Prasasti ini memang layak dijadikan taman tempat berekreasi. Sembari duduk-duduk menikmati keteduhan suasana karena di sini tumbuh berbagai jenis pohon yang rindang.
Nisan Soe Hok Gie
Nisan Soe Hok Gie
Rupanya tidak hanya tokoh-tokoh Belanda saja yang dimakamkan di sini. Di luar jalur semen, saya melihat nisan Soe Hok Gie, tokoh pergerakan mahasiswa era tahun 1967-1969, yang meninggal menghirup gas beracun di Gunung Semeru.
Selain Soe Hok Gie, ada juga nisan Miss Riboet. Miss Riboet adalah penyanyi dan penari terkenal dari kelompok seni Orion Junior yang didirikan oleh suaminya, Tio Tek Djien, pada tahun 1925. Selain menari, Miss Riboet piawai memainkan pedang.
Karir Miss Riboet makin terkenal ketika dia memainkan peran sebagai perampok wanita dalam lakon berjudul Juanita de Vega karya Antoimette de Zema. Namun karir kelompok seni ini berakhir pada tahun 1934 ketika dua orang penulis naskah mereka, Njoo Cheong Seng dan Fifi Young, pindah ke kelompok sandiwara asal Surabaya yang menjadi saingan berat Orion. Miss Riboet meninggal di Jakarta pada tahun 1965.
Nisan Miss Riboet
Nisan Miss Riboet
Melanjutkan penelusuran saya, berbagai tokoh pun saya lihat nisannya. Ada nisan Dr. J.L. Andries Brandes, seorang arkeolog yang menguasai sastra Jawa kuno. Sejarah Indonesia banyak sekali yang dia ungkap, mulai dari Kitab Pararaton, naskah raja-raja Tumapel hingga Majapahit.
Batu nisannya unik. Sekilas bentuknya seperti lingga, dengan ukiran antefix seperti yang dapat ditemukan pada hiasan beberapa candi di Jogja.
Nisan Dr. J.L. Andries Brandes
Nisan Dr. J.L. Andries Brandes
Masih banyak tokoh-tokoh lain yang nisannya berada di museum ini. Ada nisan Adami Caroli Claessens, seorang pastur Katholik yang datang ke Hindia Belanda pada tahun 1847. Salah satu jasa Claessens adalah membangun kembali Gereja Katedral yang roboh pada tahun 1890.
Ada juga nisan J.H.R. Kohler, seorang panglima tinggi militer Batavia yang gugur ketika melakukan ekspedisi ke Aceh. Kohler gugur karena salah sasaran, seharusnya menyerang Kerajaan Aceh, namun justru menyerang sebuah masjid. Masyarakat pun melakukan perlawanan dan Kohler tewas tertembak di dada pada tahun 1879.
Ketika hendak mengakhiri kunjungan, saya tertarik dengan sebuah bangunan di sebelah selatan gerbang masuk. Sebuah aula yang tertutup rapat mengusik rasa penasaran saya. Ketika saya bertanya kepada penjaga museum, dia malah mengajak saya masuk ke dalam melalui jendela karena pintu utamanya rusak.
Rupanya aula ini tempat menyimpan peti jenazah proklamator kita, Bung Karno dan Bung Hatta. Peti bung Hatta di sebelah utara (kiri) dan peti Bung Karno di sebelah selatan (kanan).
Si penjaga pun mengijinkan saya melihat isi peti. “Semua masih asli”, kata penjaga itu. Saya melihat isi peti yang mulai lapuk kain dan bantalan di dalamnya karena dimakan usia.
Peti jenazah Bung Karno dan Bung Hatta
Peti jenazah Bung Karno dan Bung Hatta
Mengunjungi Museum Taman Prasasti dapat menjadi wisata alternatif. Selain menikmati kesejukan udara dan kicauan burung yang hinggap di sela-sela pepohonannya yang rindang, kita juga bisa mengenal berbagai tokoh yang hidup di masa silam.
Yang menarik, makam Kebon Jahe Kober (1795) bahkan bisa dibilang salah satu makam tertua di dunia. Lebih tua dari Fort Cannin Park (1926) di Singapura, Gore Hill Cemetery (1868) di Sidney, La Chaise Cemetery (1803) di Paris, Mount Auburn Cemetery (1831) di Cambridge yang diklaim sebagai makam modern pertama di dunia, atau Arlington National Cemetery (1864) di Washington DC.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar