Sabtu, 15 Oktober 2011

Belajar Astronomi di Planetarium, Jakarta


Belajar Astronomi di Planetarium, Jakarta

Hari Minggu (2/11) kemarin, saya dan Dita berkunjung ke Planetarium, yang terletak di Jalan Cikini Raya No. 73, di dalam kompleks Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat.
Turun dari Stasiun Cikini, kami pun berjalan kaki menuju TIM. Daripada naik angkot yang harus muter (karena jalan searah), kami berjalan kaki walau panas menyengat.
Sampai di lokasi, suasana masih sepi. Maklum, kami tiba di Planetarium sekitar pukul 10 pagi. Rupanya pertunjukkan sesi pertama baru saja dimulai, sehingga suasana sudah sepi.
Setelah bertanya-tanya, kami pun mengantre tiket di loket yang buka kembali pukul 10.30. Melalui semacam “labirin” dari kursi berwarna biru, kami harus berputar-putar untuk mencapai loket. Mungkin labirin ini digunakan untuk mengatur antrian supaya lebih tertib kali, ya?
Penjual buku-buku tentang planet dan tata surya berkeliaran menjajakan dagangannya. Tertarik dengan 2 buku mini tentang planet dan bumi, saya mencoba menawar. Dengan menggunakan bahasa Jawa, akhirnya dapat harga 15 ribu untuk 2 buku (seri 1 dan 2), yang awalnya ditawarkan 10 ribu per buku.
Tak lama kemudian loket dibuka. Tiba-tiba saja antrian panjang langsung terjadi. Busyet, saya baru nyadar ternyata di tempat ini sudah mulai rame.
Dengan tiket seharga 7 ribu (plus sumbangan PMI 500 rupiah), maka kita bisa menikmati pertunjukan simulasi langit yang mengesankan.
Sembari menunggu dimulainya pertunjukkan pada pukul 11.30, saya dan Dita pun berkeliling. Kami menuju ke ruang pameran yang terletak di belakang.
Ruangan ini memamerkan berbagai gambar dan foto benda-benda luar angkasa. Ada juga diorama mini mengenai pendaratan manusia pertama di bulan, meski soal pendaratan ini masih diperdebatkan apakah benar-benar terjadi atau cuma rekayasa Amerika.
Namun yang membuat saya kagum adalah disimpannya batu meteorit Pasuruan, yaitu meteorit yang jatuh di kawasan Tambakwatu, Kabupaten Pasuruan pada tanggal 14 Februari 1975. Batu ini berukuran sebesar kepala manusia, dengan berat sekitar 10.5 kg.
Puas melihat-lihat ruang pameran, kami pun menuju ke depan pintu masuk teater yang ada di lantai 2. Buset, kami harus berebut jalan dengan anak-anak kecil ketika pintu teater dibuka.
Ruang pertunjukan ini menggunakan sebuah kubah setengah lingkaran berdiameter 22 meter sebagai layar pertunjukan, sehingga kita bukan melihat layar yang ada di depan, melainkan ada di atas. Kursi-kursi yang berjumlah 320 buah ini bisa direbahkan hingga nyaris telentang, memudahkan kita melihat sejauh hampir 180 derajat.
Di tengah ruangan, kira-kira di titik fokus atap kubah, terdapat proyektor Universarium Model VIII bikinan Carl Zeiss, Jerman. Bentuk proyektor ini sekilas mirip bola lampu disko, namun bedanya proyektor ini menembakkan gambar-gambar ke atas kubah sehingga membentuk tampilan gambar seperti 3 dimensi.
Tak berapa lama suasana gelap. Tiba-tiba saja saya merasa berada di luar pada malam hari. Suasana langit saat itu sedikit kelabu karena kami sedang berada di Jakarta pada malam hari. Hehe, Jakarta sebelah mana, ya? :D
Narator bercerita bahwa langit malam menjadi sedikit kelabu karena banyaknya polusi udara di Jakarta. Melihat langit yang penuh bintang di malam hari di Jakarta adalah suatu hal yang mustahil, karena terdistorsi oleh cahaya lampu-lampu kota. Andai saja lampu-lampu kota itu dimatikan maka hamparan bintang itu akan terlihat.
Ah, saya jadi teringat masa-masa ketika bermalam di Parangtritis dan Pandansari pas masa-masa kuliah dulu. Memandangi hamparan bintang yang sesekali terlihat bintang jatuh lewat setiap menit.
Setelah “distorsi” tadi dihilangkan, kini terlihat jelas langit hitam yang penuh dengan bintang, begitulah tampilan di layar. Saya benar-benar merasa seolah-olah melihat ke atas langit cerah yang penuh bintang!
Dimulailah “petualangan” kami menyusuri ruang angkasa. Cerita yang ditampilkan saat itu bertajuk “Penjelajah Kecil di Tata Surya”.
Sebenarnya ada 9 seri cerita yang ditampilkan bergantian, namun karena tiada jadwal penayangannya, mengikuti semua seri cerita menjadi sulit. Kita hanya bisa pasrah dengan apa yang akan ditampilkan di ruang pertunjukkan. Tentu akan lebih menarik bila kita bisa “memilih” cerita apa yang akan kita ikuti.
Cerita diawali dengan pengenalan bintang dan rasi bintang. Ternyata ada 88 buah rasi bintang yang ditentukan oleh International Astronomical Union (IAU) untuk standardisasi. Dua belas lambang zodiak dalam astrologi itu termasuk di dalamnya.
Kenapa 12 rasi bintang yang sering kita kenal sebagai zodiak itu begitu istimewa? Rupanya karena kedua belas rasi binang ini selalu nampak dari bumi dan seolah-olah dilintasi oleh matahari setiap tahunnya dengan susunan yang sama. Ini terjadi karena rasi-rasi bintang ini teretak di lintasan ekliptika (garis edar matahari).
Susunan kedua belas rasi bintang zodiak ini adalah Aries, Taurus, Gemini, Cancer, Leo, Virgo, Libra, Scorpio, Sagitarius, Capricorn, Aquarius, Pisces, dan kembali lagi ke Aries. Masa-masa rasi bintang ini ditentukan oleh posisi matahari terhadap zodiak tersebut.
Beberapa rasi bintang lainnya hanya dapat dilihat di belahan langit tertentu. Rasi bintang Polaris yang terlihat di langit utara tidak dapat dilihat oleh mereka yang berada di belahan bumi selatan. Begitu pula dengan rasi bintang Salib Selatan tidak dapat dilihat oleh mereka yang berada di belahan bumi utara. Beruntunglah kita yang berada di khatulistiwa, sehingga hampir semua rasi bintang dapat kita lihat.
Bila kita melihat bintang berwarna merah, itu adalah bintang “dingin” yang bersuhu sekitar 300 kali suhu air mendidih. Salah satunya bisa kita lihat di belahan langit bagian barat ketika malam hari.
Setelah perkenalan dengan rasi bintang selesai, kita akan diperkenalkan dengan benda-benda kecil yang berada di luar angkasa, antara lain komet, meteor, meteorit, dan asteroid.
Komet adalah gumpalan es kotor, yang terdiri atas gas-gas yang membeku dan terletak di pinggiran sistem tata surya kita yang dingin. Komet ini bergerak mengikuti suatu orbit tertentu, dan ketika ia mendekati matahari, sebagian gasnya terbakar dan menyublim sehingga membentuk ekor yang arahnya menjauhi matahari karena semburan angin radiasi dari matahari.
Salah satu komet yang terkenal adalah Komet Halley yang terlihat dari bumi setiap 75-76 tahun sekali.
Meteor adalah benda-benda langit yang jatuh ke bumi akibat gravitasi bumi. Ketika memasuki atmosfer bumi, benda-benda ini akan terbakar. Benda-benda angkasa ini berdasarkan unsur penyusunnya, dibedakan menjadi 3 jenis yaitu yang mengandung logam, meteorit yang berupa batuan, serta meteorit yang mengandung logam dan batuan.
Salah satu meteor besar yang pernah menghujam bumi adalah meteor yang jatuh di kawasan Arizona, Amerika, sekitar 49 ribu tahun yang lalu. Tumbukan meteor ini menimbulkan sebuah kawah lebar 1.200 meter dengan kedalaman 170 meter. Kawah ini dikenal dengan nama Canyon Diablo Crater.
Meteor yang menumbuk sebenarnya ndak besar, namun tenaga yang dihasilkan oleh kecepatannya yang sangat besar membuat tumbukan itu begitu dahsyat. Saya jadi teringat hukum energi Einstein, yang menyatakan E = mc2, di mana m adalah massa dan c adalah kecepatannya.
Di Indonesia sendiri, ada meteorit yang terjatuh pada tahun 1975 di Pasuruan, yang dikenal dengan Meteorit Pasuruan, yang disimpan di ruang pamer Planetarium.
Tak hanya bumi, rupanya planet Jupiter juga sering ditabrak oleh benda-benda angkasa. Namun karena Jupiter hanya terdiri dari gas, maka tumbukannya tidak begitu berpengaruh terhadap Jupiter.
Yang lucu, pada masa pemerintahan Pakubuwana IV (sekitar tahun 1801), di Kraton Surakarta, pernah jatuh meteorit di daerah Prambanan. Meteorit ini kemudian diambil dan kemudian dilebur lalu ditempa untuk dijadikan senjata pusaka berupa tombak dan keris. Ini dimungkinkan karena adanya unsur logam di dalam meteorit tersebut.
Nah, benda pusaka yang terbuat dari meteorit tersebut disimpan di dalam Kraton Surakarta dan yang paling terkenal adalah senjata pusaka yang dinamai Kanjeng Kyai Pamor.
Kemudian dijelaskan pula mengenai fenomena hujan meteor. Fenomena ini terjadi bila ada serpihan ekor komet yang masuk ke atmosfer bumi. Hujan meteor biasanya terjadi seolah-olah berasal dari salah satu titik di rasi bintang. Beberapa rasi bintang yang sering menjadi “sumber” hujan meteor adalah Gemini, Leo, an Orion. Hujan meteor yang seolah-olah berasal dari ketiga rasi bintang ini disebut dengan hujan meteor Geminit, Leonit, dan Orionit.
Dijelaskan pula mengenai sabuk asteroid. Ditengarai sabuk asteroid yang berada di orbit antara Mars dan Jupiter tersebut adalah planet yang sudah hancur. Serpihan-serpihan planet yang sudah hancur itulah yang kemudian membentuk sabuk asteroid.
Salah satu asteroid yang terbesar adalah asteroid Ceres yang ditemukan oleh Giuseppe Piazzi pada tahun 1801. Besarnya pun “hanya” sepanjang pulau Jawa. Namun sejak tahun 2006, Ceres kemudian dikategorikan menjadi planet kerdil, bersamaan dengan Pluto.
Bentuk asteroid yang tidak beraturan, membuat lintasan orbitnya juga tidak beraturan. Ada kalanya ia lepas dari orbit dan melayang-layang di angkasa atau menabrak benda langit lainnya. Bila asteroid berukuran cukup besar menuju bumi, bisa jadi bencana akan terjadi. Masih ingat dengan film Armageddon? :D
Bahasan tentang asteroid menjadi topik terakhir dari film yang berdurasi sekitar 1 jam ini. Film yang narasinya dibacakan secara langsung ini menjadi lebih menarik karena terdapat suatu segmen di mana kita berpura-pura naik pesawat luar angkasa dan gambar pada layar digerakkan sehingga seolah-olah kita yang bergerak. Anak-anak kecil berteriak-teriak ketika segmen ini berlangsung.
Berkunjung ke Planetarium, selain menjadi rekreasi yang menyenangkan juga dapat menambah pengetahuan, terutama mengenai benda-benda langit dan luar angkasa.
Pernahkah kamu berkunjung ke Planetarium?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar