Museum Wayang: Menyimpan Koleksi Wayang Berbagai Daerah

Prasasti Museum Wayang
Gedung ini begitu mudah ditemui karena cat temboknya yang berbeda warna. Warna coklat yang dominan di antara gedung-gedung lain berwarna putih membuat gedung museum ini mudah ditemukan.
Siapa yang menyangka kalo gedung mungil ini menyimpan hampir 6 ribu koleksi wayang dari seluruh Indonesia bahkan beberapa dari dunia. Museum yang diresmikan oleh gubernur saat itu, Ali Sadikin, pada tanggal 13 Agustus 1975 ini usianya hampir sama dengan Museum Sejarah Jakarta (Museum Fatahillah).

Gedung Museum Wayang
Awalnya gedung ini adalah gedung De Oude Hollandsche Kerk (Gereja Lama Belanda) dan dibangun pertama kali pada tahun 1640. Tahun 1732 diperbaiki dan berganti nama De Nieuwe Hollandse Kerk (Gereja Baru Belanda), namun sayangnya hancur oleh gempa bumi pada tahun 1808. Di atas puing-puing bangunan ini kemudian dibangunlah sebuah museum yang disebut Museum Batavia yang dibuka pada 1939 oleh Gubernur Jenderal Belanda saat itu, Tjarda Van Starkenborgh Stachhouwer. Museum inilah yang kemudian menjadi Museum Wayang.
Dengan tiket sebesar 2 ribu rupiah, kita bisa menikmati koleksi wayang dari berbagai corak, bentuk, dan daerah. Sayangnya selama berada di museum ini kita tidak diperkenankan untuk mengambil gambar, walau ada beberapa pengunjung yang nekat mengambil gambar meski hanya menggunakan kamera handphone.
Menuju ke ruangan atas, di mana ruang pamer berada, kita akan disambut oleh sebuah fragmen wayang yang menceritakan peristiwa proklamasi kemerdekaan. Terdapat sosok Bung Karno dan Bung Hatta di dalam fragmen tersebut. Wayang ini sempat dibawa ke Belanda sebelum akhirnya dikembalikan lagi dan menjadi koleksi museum ini.
Memasuki koridor, kita akan mendapati berbagai bentuk rupa, mulai dari wayang kulit, wayang beber, wayang golek, wayang klitik, dan sebagainya. Asal daerahnya pun ada yang berasal dari Surakarta, Yogyakarta, Cireebon, Sunda, Betawi, Banyumas, Banjarmasin, bahkan dari Eropa, India, Amerika, Kamboja, dan Thailand.

Suasana di dalam Museum Wayang
Wayang lainnya yang ukup unik adalah wayang klithik. Wayang ini badannya terbuat dari kayu, namun pada bagian tangan menggunakan kulit. Ketika dimainkan, wayang ini akan berbunyi “klithik-klithik” akibat badan wayang bersentuhan dengan gagang wayang yang menggerakkan tangan, jadilah namanya wayang klithik. Cara memainkannya pun mirip dengan wayang golek.
Ada juga wayang Betawi, di mana bentuknya seperti wayang golek, namun tokoh-tokohnya adalah tokoh-tokoh Betawi pada masa penjajahan. Kita bia melihat tokoh seperti Si Pitung, Centeng Belanda, Pak Haji, Jenderal Belanda, dan sebagainya.
Ada juga boneka Si Gale-Gale, boneka dari Pulau Samosir, Sumatera Utara yang konon dulu berisi roh putera raja Si Gale-Gale sehingga bisa menari-nari ini juga dipamerkan. Beberapa wayang berbentuk boneka dari Eropa, Malaysia, dan Thailand juga dapat kita lihat.
Saya terpukau melihat sebuah blencong (lampu minyak yang digunakan sebagai sumber cahaya pada pertunjukkan wayang kulit) besar berbentuk garuda yang pernah “piknik” hingga negeri Belanda. Namun oleh Kolonel Karel Heshusius, blencong ini dikembalikan ke Indonesia pada tahun 1975.
Namun dari sekian jenis wayang, saya ndak menemukan wayang potehi.

Keunikan lain dari museum ini adalah adanya taman di bagian bawah di mana terdapat prasasti-prasasti yang merupakan bagian dari bangunan sebelumnya. Sekilas memang bentuk taman ini semacam makam, sehingga banyak yang mengira taman ini adalah makam.

Sayangnya ketika ke sana, koleksi yang dipamerkan tidak banyak mengingat keterbatasan tempat. Namun menurut informasi, gedung ini akan diperluas sehingga di beberapa tempat masih terpampang tulisan “dalam renovasi”.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar