Fort Canning Park: Cikal Bakal Singapura

Cerita di atas saya dapatkan ketika saya menjelajahi Fort Canning Park, kawasan taman nasional yang dikelola oleh pemerintah Singapura. Bukit kecil setinggi 60 meter yang terletak di sebelah selatan pulau kecil ini merupakan lokasi bersejarah yang menjadi tonggak berdirinya negara Singapura.
Fort Canning Park dapat dicapai dengan mudah menggunakan sarana transportasi umum. Bila naik MRT kita bisa turun di stasiun Dhoby Ghaut (NE6 & NS24), City Hall (EW13 & NS25), atau Clarke Quay (NE5) kemudian jalan kaki sekitar 10 menit. Jika naik bus, ada lebih banyak pilihan halte untuk turun.
Sejarah Singpura sendiri terbagi menjadi 2, yaitu masa kerajaan Melayu pada abad ke-14 dan masa modern pada abad ke-18. Fort Canning Park, yang dulunya bernama Bukit Larangan pada abad ke-14 menjadi saksi sejarah penting Singapura.

Terdapat display kaca yang terletak di lantai lobi, berisi benda-benda peninggalan yang ditemukan dari penggalian di taman. Ada 4 kolom yang terbagi menjadi 2 panel, panel pertama berisi benda-benda peninggalan pada abad ke-14 dan panel kedua berisi benda-benda peninggalan abad ke-18.
Panel pertama banyak ditemukan pecahan tanah liat yang dulunya berupa perabotan rumah tangga semacam piring dan tembikar. Pada panel kedua juga tak jauh berbeda, namun lebih beragam, mulai ditemukan pecahan keramik dan botol minuman.
Kami kemudian keluar hotel dan menuju ke atas bukit yang disebut dengan Bukit Larangan. Tembok tua tampak menyembul terselimuti lumut dan tanaman rambat, ini adalah tembok benteng yang dibangun pada tahun 1859, pada masa pemerintahan Stamford Raffles. Pada tahun 1861, Bukit Larangan diubah namanya menjadi Fort Canning, untuk menghormati Gubernur Jendral Hindia saat itu, Lord Charles John Canning.
Benteng Fort Canning ini merupakan salah satu bagian dari sistem pertahanan Singapura. Benteng-benteng lainnya adalah Fort Fullerton, Fort Palmer, Fort Teregah, dan Fort Faber.
Bukit Larangan sendiri diduga dulunya merupakan pusat pemerintahan kerajaan Melayu kuno yang didirikan oleh Sang Nila Utama, dari Sriwijaya, seperti yang tertuang pada paragraf pertama. Kerajaan kecil ini kemudian hancur setelah diserang Siam (Thailand), sempat dikuasai oleh Majapahit, dan akhirnya takluk di tangan Portugis.
Kami berjalan mengelilingi tembok benteng melalui jalan setapak yang rapi menuju ke The Gate of Fort Canning. Di pintu gerbang ini terdapat lubang sempit dengan tangga menanjak untuk menuju ke bagian atas gerbang. Pintu ke atas sengaja dibuat sempit demi mempersulit musuh naik ke atas.

Bunker bawah tanah tersebut pun masih ada, namun untuk masuk pengunjung harus membeli tiket khusus. Tamu Hotel Fort Canning bisa masuk dengan gratis selama bisa menunjukkan kartu kamar. Sayangnya, saya tidak sempat masuk dan menjelajahi bunker ini.
Kini di dalam benteng, dibuat taman dan jalan-jalan setapak yang nyaman digunakan untuk olah raga pagi atau sekadar duduk-duduk menikmati segarnya udara pagi.

Pemandu kami, Amy, bercerita dan menunjukkan beberapa spesies vegetasi yang sebenernya banyak terdapat di Indonesia, misalnya saja pohon beringin, pohon kapuk randu, pohon kayu putih, tanaman sereh, tanaman cabe, hingga pohon pisang!
Pasangan turis dari Selandia Baru langsung takjub melihat aneka vegetasi yang mungkin jarang dilihat di negaranya, sedangkan saya cuma senyum-senyum kecut. Sekali lagi, pemerintah Singapura memang begitu pandai dengan melakukan pemeliharaan hal-hal semacam ini, kemudian dijual untuk obyek wisata. Sesuatu yang mungkin diabaikan oleh pemerintah kita di Indonesia.
Selain mengkonservasi tanaman, pemerintah Singapura juga memfasilitasi kegiatan seni di Fort Canning. Sebuah art-workshop dibangun di dalam taman untuk menjadi sarana seniman-seniman lokal berkreasi dan memanfaatkan kayu-kayu dari pohon tumbang di sekitar taman menjadi karya seni.
Fasilitas penting yang masih digunakan di Fort Canning adalah Water Reservoir. Kolam penampungan air ini dibangun pada abad ke-14 oleh kerajaan Melayu sebagai sumber air minum dan membantu suplai air ke kanal-kanal di sekitar benteng. Pada masa pemerintahan Raffles, kolam penampung air ini tetap digunakan sebagai sumber air minum tentara.

Kami tiba di sisi selatan taman, yang disebut dengan Raffles Terrace. Di sini terdapat mercusuar kecil yang disebut dengan Fort Canning Lighthouse, terletak di puncak bukit, yang pada zamannya merupakan salah satu dari 13 mercusuar penting di Selat Malaka, yang berfungsi untuk memandu kapal-kapal yang hendak masuk ke pelabuhan Singapura dan muara Sungai Singapura, yang kini dikenal dengan Marina Bay.
Menara mercusuar ini merupakan menara replika dan masih bisa menyala, namun tidak digunakan sebagai panduan. Menara mercusuar dibangun oleh perusahaan konstruksi Riley, Hargreaves & Co. pada tahun 1903, menggantikan fungsi Flagstaff yang terletak tak jauh lokasi menara.
Menara ini pada zamannya dinyalakan dengan menggunakan kerosin, menghasilkan kekuatan cahaya sebesar 20.000 CD (candlepower) yang mampu mencapai jarak hingga 33 kilometer. Menara ini menggunakan sistem penggerak dioptric occulting yang membuat cahaya terlihat selama 17 detik, kemudian padam selama 3 detik, dan menyala kembali selama 17 detik. Pada Desember 1958, Menara ini kemudian dinonaktifkan seiring dengan dibangunnya gedung-gedung tinggi di sekitar Marina Bay.
Flagstaff dan Time Ball yang terletak beberapa meter ke barat dari mercusuar, juga memiliki peranan penting di zamannya. Flagstaff merupakan tiang dengan dipasangi beberapa bendera warna-warni. Isyarat panduan dikirimkan ke kapal dengan menaikkan atau menurunkan bendera, sesuai dengan perintah yang hendak dikirim.
Time Ball memiliki fungsi melakukan sinkronisasi waktu. Setiap pukul 12:55, bola akan dinaikkan ke atas untuk kemudian dijatuhkan tepat pada pukul 13:00 dan berbunyi nyaring pertanda bahwa sudah saatnya jam-jam disinkronisasi.

Di sekitar sini pula dulu terdapat rumah tinggal Stanford Raffles yang dibangun pada tahun 1822, yang kini sudah tidak ada karena terbuat dari kayu dan lapuk. Untuk menandai lokasi bersejarah ini, dibangunlah bangunan lain di lokasi yang ditengarai lokasi asli rumah tinggal Raffles tersebut.
Dari Raffles Terrace, tur berlanjut menuju ke sebuah tembok berelief yang menceritakan sejarah Singapura sebelum era kolonial. Tembok relief ini bukan peninggalan sejarah, tapi sengaja dibuat pada tahun 1994, didesain oleh Eng Siak Loy dan dipahat oleh Villa Frangipani.

Perjalanan dilanjutkan menuju ke situs penggalian arkeologi Fort Canning. Proses ekskavasi dimulai pada tahun 1984, di mana banyak ditemukan artefak berupa pecahan-pecahan perabot rumah tangga, mulai dari abad ke-14 hingga abad ke-18. Beberapa pecahan-pecahan ini dipajang di lobi Hotel Fort Canning, dan sisanya dipajang di sekitar lokasi situs.
Artefak-artefak ini dibiarkan dipajang di ruang terbuka tanpa takut dirusak. Kenapa bisa tidak hilang dicuri orang? Karena pecahan-pecahan tembikar ini “tidak berharga”. Benda-benda peninggalan arkeologi akan berharga bila kondisinya masih utuh. Benda-benda yang masih utuh ini disimpan di National Museum of Singapore.


Kini Fort Canning Green menjadi lokasi pertunjukkan. Terdapat panggung tepat berada di tengah lapangan luas, dengan latar belakang gedung Fort Canning Center yang dulunya merupakan barak tentara.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar