Sabtu, 15 Oktober 2011

Menelusuri Jejak Sejarah Kampung Batik Laweyan


Menelusuri Jejak Sejarah Kampung Batik Laweyan

Salah satu sudut Kampung Laweyan
Salah satu sudut Kampung Laweyan
Menelusuri kembali lorong-lorong di antara tembok-tembok di Laweyan membuat saya seakan terlempar ke masa lalu.
Tembok-tembok tua dengan warna yang memudar itu konon menjadi saksi atas masa kejayaan batik Laweyan.
Ndak hanya batik, dari kampung inil pula lahirlah tokoh pergerakan nasional yang ikut berpartisipasi dalam melawan penjajahan, K.H. Samanhudi melalui perkumpulan Serikat Dagang Islam-nya.
Konon Kampung Laweyan sudah ada sejak abad ke-15 pada masa pemerintahan Kerajaan Pajang.
Daerah Laweyan dulu banyak ditumbuhi pohon kapas dan merupakan sentra industri benang yang kemudian berkembang menjadi sentra industri kain tenun dan bahan pakaian.
Kain-kain hasil tenun dan bahan pakaian ini sering disebut dengan Lawe, sehingga daerah ini kemudian disebut dengan Laweyan.
Industri dan perdagangan di Laweyan semakin berkembang semenjak digunakannya Kali Kabangan sebagai jalur transportasi dari dan menuju Kerajaan Pajang.
Jembatan yang melintas di atas Kali Kabangan
Dari kampung ini pula, hidup seorang tokoh yang konon akan menurunkan raja-raja Mataram Islam.
Tokoh ini adalah Kyai Ageng Henis yang merupakan keturunan Brawijaya V yang kemudian mempunyai keturunan Ki Ageng Pemanahan yang mendirikan Kerajaan Mataram di Kotagede.
Kyai Ageng Henis dulunya beragama Hindu Jawa, namun semenjak singgahnya Sunan Kalijaga di daerah ini ketika hendak menuju Kerajaan Pajang, Kyai Ageng Henis pun kemudian masuk Islam.
Kyai Ageng Henis bersama Sunan Kalijaga kemudian menyebarkan agama Islam di kawasan Laweyan.
Seorang tokoh yang amat disegani saat itu atas pengaruh Kyai Ageng Henis akhirnya juga masuk Islam. Beliau adalah Kyai Ageng Beluk.
Setelah masuk Islam, Kyai Ageng Beluk kemudian mengubah sanggarnya menjadi sebuah masjid untuk menunjang dakwahnya.
Masjid ini lah yang kemudian dikenal sebagai Masjid Laweyan yang dibangun pada tahun 1546 Masehi.
Agama Islam pun menyebar dengan sangat pesat di Laweyan.
Masjid Laweyan
Batik sendiri awalnya diperkenalkan oleh Kyai Ageng Henis yang memang menyukai kesenian.
Selain menyebarkan agama, Kyai Ageng Henis juga mengajarkan masyarakat bagaimana cara membuat batik.
Jadilah Laweyan yang dulunya hanya memproduksi kain tenun berubah menjadi produsen batik.
Karena letaknya yang strategis, Laweyan pun menjadi salah satu kota perdagangan yang maju.
Sebagai kota perdagangan, dibangunlah sebuah bandar (pelabuhan) yang berada di sisi selatan kampung dan di sebelah timur masjid di pinggir Kali Kabangan. Namun peninggalan bandar ini sudah ndak dapat ditemukan lagi.
Ndak heran kalo di Laweyan banyak terdapat saudagar batik yang kaya.
Kehidupan masyarakat di Laweyan ini dapat kita lihat dari bentuk-bentuk bangunan yang ada.
Setiap rumah saudagar biasanya dikelilingi oleh tembok-tembok tinggi. Tujuannya adalah saat itu demi alasan keamanan.
Namun walau setiap rumah dibatasi dengan tembok, antar rumah terdapat pintu yang menghubungkan rumah satu dengan yang lainnya sehingga silaturahmi tetap terjaga.
Konon di beberapa rumah juga terdapat lorong bawah tanah dan bunker yang berfungsi untuk mengungsi bila terjadi serangan.
Lorong di antara tembok-tembok tinggi di Laweyan
Sekilas, bentuk-bentuk bangunan rumah yang dikelilingi oleh tembok ini mengingatkan saya akan Kotagede.
Terang saja, tata kota Kotagede terinspirasi oleh tata kota di Laweyan karena Panembahan Senopati, putra Ki Ageng Pemanahan banyak menghabiskan masa kecilnya di kampung ini.
Bila melacak kembali, sebuah tugu yang ada di pusat kawasan ini dulunya adalah pasar. Namun pasar ini sudah ndak ditemukan lagi.
Panembahan Senopati semasa kecil tinggal di kawasan sebelah utara pasar. Rumah Panembahan Senopati ketika berada di Kotagede pun berada di sebelah utara pasar. Karena inilah ia dijuluki Raden Ngabehi Loring Pasar.
Ketika Kerajaan Mataram pindah ke desa Sala yang kemudian berubah nama menjadi Kraton Surakarta, Laweyan tetap merasa sebagai daerah merdeka yang ndak ingin tunduk kepada kraton.
Ini dikarenakan para saudagar merasa mereka sudah kaya dan mampu hidup tanpa perlu bergabung dengan daerah kekuasaan kraton.
Bisa jadi perlawanan ini juga dikarenakan kraton saat itu begitu dekat pihak Belanda, padahal para saudagar batik yang ada di kawasan ini semuanya adalah saudagar muslim bumiputra.
Sikap ini nampak dari bentuk-bentuk motif batik yang ndak mengikuti pakem-pakem motif seperti motif-motif batik kraton.
Ketika masa penjajahan Belanda, pada tahun 1905 muncullah organisasi Serikat Dagang Islam yang diprakarsai oleh K.H. Samanhudi, salah satu saudagar batik.
Tujuan didirikannya SDI saat itu sebenernya untuk menyatukan para saudagar batik muslim bumiputra yang ada di Laweyan untuk menghadapi Belanda yang pengaruhnya semakin kuat di dalam kraton.
Rumah K.H. Samanhudi masih ada dan dapat kita temukan di kawasan ini.
Atas jasa-jasa dari K.H. Samanhudi, Presiden Soekarno memberikan sebuah rumah untuk K.H. Samanhudi yang sampai sekarang masih digunakan oleh cucu dan keturunan K.H. Samanhudi.
Rumah pemberian Presiden Soekarno kepada K.H. Samanhudi
Bentuk bangunan di kawasan tengah dan utara Laweyan kebanyakan membentuk “jalan mati”, di mana jalan ini terkesan sepi karena berada di antara tembok-tembok rumah yang saling membelakangi.
Sedangkan kawasan di daerah selatan yang dekat dengan Kali Kabangan rumahnya cenderung terbuka dan membentuk “jalan hidup” di mana pintu-pintu bagian depan rumah saling berhadap-hadapan sehingga memungkinkan interaksi.
Rumah-rumah di kawasan tengah dan utara didiami oleh para saudagar sedangkan berada di selatan didiami oleh para pekerja batik.
Dulu banyak sekali jalan-jalan yang melintang dari utara ke selatan menuju ke Kali Kabangan. Jalan ini dinamakan “jalan servis” yang berfungsi untuk membawa kain batik setengah jadi untuk dicuci di Kali Kabangan.
Jaman dulu air di kali ini begitu bersih sehingga masih layak digunakan untuk mencuci. Selain itu, bahan pewarna batik jaman dulu itu terbuat dari bahan alami sehingga ndak membahayakan alam.
Industri batik tulis dan cap di Laweyan sempat kolaps ketika masuknya batik-batik sablon.
Proses pembuatan batik yang lebih cepat dan massal membuat harga batik sablon menjadi murah. Tentu saja ini menghantam industri batik tulis dan cap yang ada di Laweyan.
Belum lagi ekspansi bisnis yang dilakukan oleh para pedagang Cina yang saat itu memang mencoba menguasai area Laweyan.
Selama hampir beberapa generasi pembatik di Laweyan gulung tikar. Bisnis batik di Laweyan yang dilakukan secara turun temurun pun terputus.
Para pemuda Laweyan justru banyak yang keluar dari area dan mencoba peruntungan di luar Laweyan. Bukan begitu, Kang Bal? ;))
Namun pada tahun 2000-an industri batik Laweyan pun kembali bangkit. Apalagi semenjak dibentuknya forum Kampung Batik Laweyan mencoba mengangkat kembali potensi wisata kampung cagar budaya ini.
Jika dulu para pengusaha batik hanya menjadi produsen dan suplier, kini mereka juga membuka showroom-showroom di rumahnya masing-masing.
Kita bisa berkeliling menyusuri lorong-lorong Laweyan dan blusukan masuk ke rumah-rumah saudagar batik untuk melihat dengan lebih dekat proses pembuatan batik.
Mengintip aktivitas pembatik di Laweyan
Waktu yang dianjurkan untuk melihat aktivitas di kampung ini adalah pagi hari. Mulai dari pembuatan, pencelupan, hingga penjemuran kain-kain batik dapat kita lihat hingga tengah hari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar