Sabtu, 15 Oktober 2011

Lawang Sewu, Eksotisme yang Terbalut Mistis


Lawang Sewu, Eksotisme yang Terbalut Mistis

Sisi lain Lawang Sewu
Sisi lain Lawang Sewu
Pas jeng-jeng ke Semarang liburan Imlek kemarin, kami mengunjungi kembali Lawang Sewu, salah satu situs wisata populer di Semarang.
Kunjungan saya yang ketiga kali ini ternyata membuat saya berpikir kembali soal eksotisme dan potensi wisata Lawang Sewu yang dari sudut pandang lain mungkin ndak selaras dengan sudut pandang orang kebanyakan.
Lawang Sewu, sejak dulu terkenal dengan keangkeran, cerita horor, kemistisan, tempat seram, dan obyek wisata nyali lainnya.
Namun bila kita bisa menafikkan semua stigma masyarakat tersebut, Lawang Sewu bisa menjadi potensi wisata unggulan Semarang.
Arsitektur Lawang Sewu yang unik dan menarik inilah yang patut ditonjolkan daripada cerita seramnya.
Latar belakang sejarah lah yang seharusnya lebih dikedepankan daripada cerita “di sini pernah dipakai untuk lokasi uji nyali yang memenangkan penghargaan reality show terbaik se-Asia”-nya itu.
Bila Pemkot Semarang memang berniat mengangkat potensi wisata Semarang, tentunya pemkot harus bener-bener serius dengan membangun infrastruktur yang memadai.
Andai saja Lawang Sewu direnovasi kembali, kemudian dialihfungsikan, sebagai museum atau hotel misalnya, tentunya ini akan menarik lebih banyak wisatawan.
Lalu akan muncul keresahan, la nanti kalo dijadikan hotel, apa ndak angker nantinya? Saya cuma ketawa. La hantu itu sebenernya lebih takut pada kita! La kok kita yang takut sama mereka.
Suasana gelap, sepi, membuat suasana tambah wingit dan membuat para setan itu suka gentayangan. Coba kalo ini gedung diramaikan, saya yakin para setan dan hantu itu akan enyah dengan sendirinya.
Wisatawan asing tentu ndak tertarik dengan cerita klenik macam beginian. Yang doyan cerita klenik ini kan ya orang-orang kita sendiri. La kalo yang ditonjolkan cuma cerita klenik, mana mau para wisatawan asing itu datang?
Andai Lawang Sewu dijadikan hotel, tentu hotel ini akan menjadi hotel menarik seperti hotel Majapahit di Surabaya yang pernah menjadi saksi sejarah dengan peristiwa perobekan bendera Belanda menjadi merah-putih itu.
Kalo dijadikan museum, bisa jadi Museum Sejarah Jakarta atau yang sering disebut dengan Museum Fatahillah itu dijamin ndak bakal ada apa-apanya.
Foto-foto Semarang tempo doeloe bisa dipajang di museum ini. Saya sendiri sedih dan prihatin. Mosok gambar-gambar, foto-foto, dan peninggalan sejarah kita (khususnya di Semarang) malah ada di Belanda?
Heritage dan bangunan tua peninggalan Belanda yang banyak bertebaran di Semarang harusnya bisa menjadi ujung tombak wisata Semarang. Tentunya dengan perawatan dan penyajian yang baik.
Saya yang suka melihat heritage dan bentuk bangunan-bangunan tua begitu sedih. Ndak bisa kah kita melestarikan peninggalan kebudayaan tersebut sebagai warisan kepada anak cucu?
Saya jadi teringat slogan, “jas coklat merah: jangan sekali-kali melupakan sejarah”.
Saya membayangkan bila saja Lawang Sewu bener-bener direnovasi. Membayangkan suasana tempo doeloe lengkap dengan para sinyo dan none-none Belandanya tentunya menjadi ndak sulit lagi.
Ah, andai saja pemerintah kita ini peduli.. :-<

Tidak ada komentar:

Posting Komentar