Jeng-Jeng Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu

Di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu
Saya akan berkunjung ke Kepulauan Seribu. Tiada rencana sebelumnya, hanya berbekal panduan dari beberapa orang rekan, saya, Fame, dan Nila langsung berangkat tanpa memikirkan apa yang akan dilakukan setibanya di sana, yang penting hengkang dari kota ini.
Raut muka mengantuk masih terlihat jelas di muka kami. Tak berapa lama, bus PPD P-37 jurusan Blok M-Muara Angke muncul dan kami bergegas naik ke dalam bus yang hanya berisi beberapa gelintir manusia. Sang kondektur pun bahkan belum nongol dan baru naik di Bundaran Senayan.
Bus berjalan dengan sangat cepat. Dalam waktu sekitar 30 menit, kami sudah sampai di Mega Mall Pluit. Lalu lintas yang masih lengang sepertinya membuat Jakarta menjadi sangat dekat.
Dengan menggunakan angkot merah U-11, kami segera menuju ke Muara Angke. Rute ini sama persis ketika kami berkunjung ke Suaka Margasatwa Muara Angke beberapa waktu yang lalu.
Dari terminal Muara Angke, kami berjalan sedikit menuju dermaga Muara Baru, Muara Angke. Melewati pasar ikan dengan bau yang membuat rasa kantuk kami sirna seketika karena begitu “sedapnya”, antara campuran bau ikan dan genangan air kotor dari got yang tersumbat.

Dermaga Muara Angke
Ada banyak kapal yang akan menuju ke Kepulauan Seribu. Hampir semua kapal akan singgah di Pulau Pramuka sebelum melanjutkan perjalanan ke pulau-pulau lain semacam Pulau Panggang, Pulau Tidung, bahkan hingga ke Pulau Kelapa.
Untuk menuju ke Kepulauan Seribu, ada berbagai macam rute yang bisa dipakai. Wisatawan yang berkocek tebal dan menginginkan kepraktisan bisa berangkat dari Pantai Marina, Ancol, dengan menggunakan kapal speedboat yang berangkat pukul 8-9 pagi dan kembali pukul 1-2 siang.
Biasanya layanan speedboat ini sudah termasuk dalam suatu paket wisata ke pulau-pulau tertentu semacam Pulau Bidadari, Pulau Sepa, dan Pulau Onrust. Untuk info lebih lanjut bisa bertanya pada agen perjalanan yang ada di seputaran Pantai Marina, Ancol.
Bila ingin bepergian ala backpacker atau budget traveler, bisa menggunakan rute dari Muara Angke eperti yang kami tempuh ini. Kapal-kapal dari Muara Angke berangkat setiap hari pada pukul 7-8 pagi. Pulau-pulau tujuan adalah pulau-pulau yang dihuni oleh penduduk, antara lain Pulau Pramuka, Pulau Panggang, Pulau Tidung, dan Pulau Kelapa.
Bila Pulau Untung Jawa menjadi tujuan, berangkatlah dari dermaga Tanjung Pasir di Tangerang. Kalo jadwal kapal ini biasanya sekitar pukul 1 siang.
Kami naik kapal motor Ksatria, dengan tujuan akhir Pulau Kelapa, yang tentunya akan singgah ke Pulau Pramuka. Di dalam kapal rupanya sudah sesak sehingga kami mendapat tempat di bagian buritan.
Selain manusia, kapal ini juga mengangkut berbagai macam bahan kebutuhan pokok. Mulai dari beras, sayur, telor, gula, bahkan sepeda motor pun bisa masuk. Para penumpang harus berbagi ruang dengan barang-barang ini.

Di dalam kapal

Pukul 7.20 kapal yang kami tumpangi sudah melepas tali dan bergerak perlahan meninggalkan dermaga. Mesin diesel berteriak kencang membuat kapal bergetar-getar mengingatkan saya seperti naik bajaj.
Lepas dari Teluk Jakarta, kapal berhenti sejenak. Rupanya ada sampah yang nyangkut di baling-baling. Seorang awak kapal langsung nyebur dengan hanya bercelana kolor dan masker untuk menyingkirkan sampah-sampah ini.
Sepanjang perjalanan yang memakan waktu sekitar 2 jam ini, saya berusaha untuk tidur. Namun entah kenapa hidung saya terasa sangat gatal. Rasanya seperti mau pilek padahal tadi baik-baik saja. Rasa gatal ini begitu mengganggu sehingga selama perjalanan saya tidak bisa tidur.
Bermain hape untuk sekedar update Plurk atau status Facebook? Lah, kan di tengah laut. Mana ada sinyal? Bener-bener mati gaya!

Menjelang sampai tujuan, anak buah kapal menarik ongkos. Per orang ditarik ongkos 30 rebu rupiah. Herannya, rasa gatal di hidung tadi juga tiba-tiba lenyap beberapa saat sebelum kapal merapat di dermaga.
Kepulauan Seribu sendiri sebenernya merupakan sebuah Kabupaten Administrasi yang terbagi dalam dua kecamatan, Kepulauan Seribu Selatan dan Kecamatan Kepulauan Seribu Utara.
Di sebagian wilayah di Kepulauan Seribu, terutama di utara, terdapat zona konservasi alam yang disebut dengan Taman Nasional Kepulauan Seribu dengan luas mencapai 100.000 hektar lebih yang terdiri atas 44 buah pulau dan perairan di sekitarnya.
Kami akan turun di Pulau Pramuka, yang menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Karena Pulau Pramuka adalah pusat kota, tentu lebih mudah dalam menemukan penginapan atau penyedia makanan. Apalagi kami sama sekali buta dan belum tau akan ngapain.
Dinamakan Pulau Pramuka, karena dulu pulau ini kotor dan tak terurus. Kemudian beberapa rombongan pramuka datang ke pulau ini dan membersihkan pulau ini. Untuk menghormati jasa para pramuka ini lah pulau ini dinamakan Pulau Pramuka.
Dari seorang peserta trip dari sebuah milis yang berada dalam satu kapal dengan kami tadi, kami mendapat informasi perkiraan biaya yang akan kami keluarkan, terutama untuk masalah penginapan dan transportasi.

Dermaga Pulau Pramuka
Kawasan kantor ini rupanya menyewakan wisma seharga 300 ribu per malam. Kami mendapat wisma bernama Bruguiera, salah satu nama genus dari tanaman Bakau.
Wisma ini rupanya sering dipakai oleh para peneliti atau mereka yang melakukan riset di Taman Nasional Kepulauan Seribu. Beberapa orang nampak sedang berdiskusi dalam kelompok. Kantor ini juga menyewakan peralatan scuba dan snorkeling dengan harga 35 ribu rupiah sekali sewa.
Sebenernya tempat ini cukup nyaman, namun bapak penjaga yang kurang ramah membuat kami sedikit malas berada di sekitaran kantor ini.

Setelah beristirahat sejenak dan menaruh backpack, kami pun berkeliling untuk mengenali pulau. Kami menuju pantai timur yang jaraknya cuma selemparan cawat dari tempat kami menginap. Di pantai yang dilindungi karang sejauh sekitar 500 meter ini dibudidayakan tanaman Mangrove.

Tanaman Mangrove
Warna dan bentuk cangkang dari penyu ini unik, berbentuk seperti sisik yang bertumpuk teratur. Di bagian tepi sedikit tajam sehingga bila ndak berhati-hati memegangnya, tangan bisa terluka.

Bermain bersama tukik Penyu Sisik
Tiba-tiba kelingking kanan saya merasa seperti dicubit. Ternyata seekor tukik menggigit kelingking saya dengan mulut mungilnya yang berbentuk seperti paruh burung.
Seekor penyu besar dengan cangkang yang bengkok berusaha menarik perhatian kami dengan menyiprat-nyipratkan air menggunakan kakinya. Setelah kami datang melihat dan mengelus-elusnya, si penyu pun diam dan pasang tampang manja.


Bermain bersama Penyu Sisik (Eretnochelys imbricata)
Sorak anak-anak bermain di tengah jalan pun mewarnai siang itu. Tanpa khawatir tertabrak kendaraan, karena memang jarang ada kendaraan bermotor, mereka berlari-lari sesukanya.

Suasana di Pulau Pramuka
Pantas saja anak-anak itu bermain di luar karena di rumah tidak bisa menonton televisi.

Sayup-sayup terdengar suara musik pop ST12 yang makin lama makin nyaring. Rupanya lagu itu berasal dari sebuah ojek motor yang mempunyai rute berkeliling pulau.
Ojek ini cukup unik. Terbuat dari sepeda motor roda tiga yang biasa digunakan untuk mengangkut barang yang dimodifikasi sehingga bisa digunakan untuk mengangkut penumpang. Di bagian depan dipasang radio-tape yang memutar musik dengan kencang.

Ojek motor

Dengan menyewa peralatan snorkeling seharga 35 ribu yang terdiri dari mask, snorkel, fin, dan lifevest, kami pun segera berangkat ke pulau yang dekat, yaitu Pulau Karya, yang terletak di sebelah utara Pulau Panggang.
Dengan menggunakan ojek kapal antar pulau dengan ongkos 3 ribu per orang sekali jalan, kami berangkat. Untuk snorkeling sebenernya lebih oke ke Pulau Sepa tapi karena ongkos sewa perahu yang mahal, 300 rebu (carter) dan jarak yang jauh, kami memilih yang dekat-dekat aja.

Ojek Kapal
Setiba di Pulau Karya, kami pun mengelilingi pulau ini dulu sembari mencari lokasi yang oke untuk snorkeling. Ada beberapa spot yang menarik, namun sayang banyak sekali Bulu Babi di dalamnya sehingga menjadi berbahaya.
Kami memutuskan untuk snorkeling dan bermain air di sekitar dermaga sebelah selatan Pulau Karya. Kedalamannya cukup dan Bulu Babi tak begitu banyak. Setelah mengenakan peralatan kami pun nyebur.
Ada beberapa insiden menyebalkan ketika kami snorkeling. Pas sedang enak-enaknya, tiba-tiba sebuah bungkusan putih yang ternyata popok berisi kotoran mengapung dengan tanpa dosa di hadapan kami. Sontak kami pun berenang menjauh. Kemungkinan benda itu berasal dari sampah yang dibuang oleh penduduk Pulau Panggang.
Begitu juga ketika saya sedang asyik mengamati segerombolan ikan yang berenang dan melewati saya, tiba-tiba sebungkus plastik Indomie nyelonong ke dalam kerumunan ikan dan merusak suasana. Kampret!!
Tiba-tiba beberapa rekan menjerit dan berteriak. Mereka bilang ada sesuatu yang menusuk-nusuk badan mereka. Panik, beberapa di antaranya menepi dan mentas.
Saya pun akhirnya merasakan juga. Clekit-clekit, badan serasa ditusuk-tusuk jarum. Apa ini?!
Awalnya kami mengira ini adalah ulah Bulu Babi, tapi setelh dipikir-pikir tidak mungkin karena Bulu Babi berada di dasar laut dan tidak bisa berenang.
Kami baru tau bahwa ini ulah salah satu jenis ubur-ubur yang karena saking kecil dan transparannya hingga tidak terlihat, yang menyengat. Oh, pantas! Untungnya tidak beracun dan hanya menimbulkan rasa gatal-gatal saja.
Sekitar 2 jam kami puas snorkeling, kami memutuskan untuk mengakhiri. Kami kembali ke Pulau Pramuka dengan menggunakan ojek perahu.

Berfoto di dermaga Pulau Karya
Dengan menggunakan ojek perahu, kami menyeberang ke Nusa Cafe, sebuah restoran yang berada di tengah laut dan membudidayakan ikan-ikannya di dalam keramba. Restoran ini dikenal dengan restoran keramba.
Sayangnya, menu seafood yang ada di restoran ini kurang lengkap. Cumi, kepiting, atau kerang tidak ada, kebanyakan berupa ikan. Mungkin karena budidaya cumi, kerang, dan kepiting tidak dapat dilakukan di dalam keramba?


Nusa Cafe

Keesokan harinya, kami berencana hendak mengeksplorasi lebih lanjut Pulau Pramuka dan Pulau Panggang.
Kami berkeliling menyusuri pesisir Pulau Pramuka berjalan ke selatan. Makin ke selatan, pemukiman makin sedikit. Kami juga menemukan lokasi penangkaran dan budidaya terumbu karang. Karang-karang ini dibudidayakan dengan cara transplantasi.
Di dalam bak-bak terdapat beberapa induk terumbu karang yang akan dipotong beberapa cabangnya. Di bak-bak yang lain terdapat anakan karang yang sudah ditanam dalam substrat beton. Di luar, terdapat rangka beton yang digunakan untuk “menanam” terumbu karang ini nampak tersusun rapi.
Puas mengelilingi Pulau Pramuka, kami berpindah ke Pulau Panggang dengan menggunakan ojek perahu. Pulau Panggang adalah pulau dengan kepadatan penduduk paling tinggi di kabupaten ini.
Benar saja, terlihat dari bentuk pemukimannya, mengingatkan saya akan pemukiman serupa di beberapa sudut Jakarta yang kumuh, hanya ditambahi kapal yang tertambat.


Salah satu sudut Pulau Panggang
Kami berjalan menuju ke selatan. Kami menemukan kompleks makam kecil yang terletak persis di tepi pantai dinaungi pohon cemara.
Seorang bapak nampak sibuk membongkar bangkai kapal yang teronggok di pinggir pantai. “Mau diambil besinya. Lumayan buat dikilokan”, begitu katanya ketika saya tanya.

Pantai di Pulau Panggang
Benar saja, ketika kami kembali dari Pulau Panggang, KM Cinta Alam yang akan membawa kami kembali ke Muara Angke sudah merapat. Dermaga juga sudah dipenuhi calon penumpang yang juga hendak kembali.
Dengan sedikit panik kami segera berkemas seadanya. Dari penginapan kami berlari-lari kecil karena takut ketinggalan kapal karena kapal ini satu-satunya yang membawa kami ke Muara Angke. Untung ketika kami sampai kami masih bisa naik walau tempat sudah sangat penuh.
Perjalanan pulang memakan waktu lebih lama. Selain karena ombak sedang besar, kapal ini juga mampir sebentar di Pulau Untung Jawa sebelum merapat ke Muara Angke.
Memasuki Teluk Jakarta, warna laut yang semula biru berubah menjadi berwarna coklat. Ah, rasanya liburan saya berlalu dengan sangat cepat.
Begitu menjejakkan kaki di dermaga Muara Baru, Muara Angke dan disambut oleh bau khasnya, saya cuma tersenyum kecut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar