Jeng-Jeng Pulau Kelapa-Pulau Harapan, Kepulauan Seribu

Dermaga Pulau Harapan
Kali ini saya mengunjungi Pulau Kelapa dan Pulau Harapan, di gugus utara Kepulauan Seribu. Pulau Kelapa? Ya, itu lah nama pulau yang konon bisa merayu, seperti dalam lagu ciptaan Ismail Marzuki, “Rayuan Pulau Kelapa”, yang menjadi lagu nasional itu.
Walau dalam lirik lagu “Rayuan Pulau Kelapa” berisi puji-pujian dan gambaran indahnya Indonesia, rupanya keadaan Pulau Kelapa tidak sepenuhnya sesuai dengan lirik lagu. Dalam pandangan umum saya, pulau ini terlihat lebih gersang daripada Pulau Pramuka atau Pulau Tidung.
Tiba di dermaga Pulau Kelapa yang lautnya berwarna tosca, kami disambut oleh jajaran tukang becak yang menawarkan jasanya. Panas begitu terik, namun tak menyurutkan semangat kami ketika menginjakkan kaki setelah menempuh perjalanan cukup panjang, kurang lebih tiga setengah jam duduk terpanggang matahari di atas atap kapal motor yang berangkat dari dermaga Muara Baru, Muara Angke jam 7:30 pagi.
Dengan sopan kami menolak tawaran becak-becak tersebut dan memilih mampir di sebuah warung makan di ujung dermaga. Selain untuk mengisi perut, kami juga ingin mengorek informasi penginapan dari pemilik warung di pulau ini, karena memang lagi-lagi kami berangkat dengan nekat, tanpa rencana atau tujuan, pokoknya segera angkat pantat dari sumpeknya Jakarta.
La gimana tidak, kami cuma bermodal nanya ke tukang kapal, “Bang, ini kapal berangkat ke mana?”. Begitu mendengar mo ke Pulau Kelapa, kami pun langsung naik tanpa pikir panjang.
Saya menduga becak-becak ini berasal dari Jakarta, yang dilarang beroperasi di Jakarta pada tahun 1994. Becak-becak itu sebagian besar ditenggelamkan di laut Jawa, namun sebagian yang tidak ditenggelamkan diangkut ke sini.
Dari keterangan pemilik warung, yang menunya sangat-sangat sederhana, yaitu hidangan ikan laut, kami mendapat keterangan untuk menginap dengan menyewa sebuah rumah milik Pak Haji Asmawi (08176662315) yang berada di Pulau Harapan.
Awalnya kami bingung ketika disarankan untuk naik becak atau berjalan kaki saja ke Pulau Harapan, karena kami kira kami harus menyeberang pulau menggunakan kapal. Ternyata ada sebuah jalan berpaving block yang sangat bagus yang menghubungkan kedua pulau, yang dibangun di atas karang yang telah direklamasi dengan menimbun batu-batu beton di atas karang.

Deretan becak di dermaga Pulau Kelapa
Di beberapa sudut pulau, saya mendengar dialek bahasa Bugis. Unik, karena meski masuk dalam wilayah DKI Jakarta, justru suku Bugis yang sejak dulu terkenal sebagai pelaut ulung, merupakan suku yang dominan mendiami pulau ini setelah suku Jawa dan Betawi.
Yang mengesankan lagi, meski berbeda pulau, penduduk di sini saling mengenal satu sama lain, sehingga ketika kami bertanya rumah Pak H. Asmawi yang akan kami inapi, penduduk sekitar dengan mudah menunjukkannya, bahkan mengantarkan kami.

Instalasi pengolahan air tawar di Pulau Kelapa
Namun meski ber-AC, listrik hanya nyala pada pukul 4 sore hingga pukul 7 pagi saja. Maklum, seperti di pulau-pulau di gugus utara lainnya, listrik di Pulau Kelapa dan Pulau Harapan berasal dari generator diesel yang menjadi sumber listrik untuk menerangi kedua pulau.
Secara umum sarana dan prasarana di pulau ini sudah lengkap. Sebuah bangunan SD yang kokoh, berdiri megah di Pulau Kelapa. Di SD Negeri Pulau Kelapa 01 Pagi, biaya pendidikannya gratis. Tidak ada pungutan apa pun yang dibebankan kepada siswa. Semua biaya sekolah mulai dari buku hingga seragam, dibebankan ke pemerintah melalui BOS.
Anak-anak cuma perlu baju seragam dan alat tulis, mereka pun bisa mengenyam pendidikan. Dana ini diperoleh dari BOS yang kebetulan ketua komite sekolah yang mewakili wali murid adalah Pak H. Asmawi. “Pokoknya sekolah tidak boleh memungut uang sepeser pun dari siswa,” tegas Pak H. Asmawi.
Selain gedung sekolah, terdapat instalasi penyulingan air yang dibangun dengan biaya dari dana kompensasi pengurangan subsidi BBM. Air payau yang diambil dari sumur kemudian disuling menjadi air tawar. Air-air ini kemudian dijual dalam jirigen yang dijajakan berkeliling menggunakan gerobak. Satu jirigen harganya 500 rupiah.
Oiya, meski disebut air “tawar”, air ini masih sedikit payau dan hanya bisa digunakan untuk keperluan mandi dan mencuci. Untuk minum, penduduk lebih banyak membeli air dalam kemasan.

Anak-anak antusias melihat foto
Menurut informasi, dulunya sekitar dermaga ini akan dijadikan taman wisata untuk menarik wisatawan, bahkan dermaganya pun bisa dibilang lebih bagus daripada di Pulau Kelapa. Namun sayang seribu sayang, proyek yang dipegang oleh pemerintah ini pun mandeg, sehingga pembangunan taman yang hampir jadi ini pun terkesan terbengkalai.
Selepas beristirahat sejenak karena cuaca saat itu sangat terik, sore harinya kami jalan-jalan mengelilingi pulau. Setelah berfoto-foto di seputar dermaga Pulau Harapan yang bagus namun sayang tidak dijadikan sebagai dermaga utama, kami menuju ke barat, menuju ke ujung Pulau Kelapa untuk mengejar sunset.
Selama menelusuri jalan-jalan kampung di Pulau Harapan maupun Pulau Kelapa, saya menemukan banyak hal yang menarik, terutama mengamati kehidupan sehari-hari masyarakatnya hingga benda-benda, produk, dan makanan lokal yang dijual.
Anak-anak kecil yang bermain riuh di tengah jalan, para pemuda yang bermain sepak bola di lapangan di pinggir pantai, penjaja berbagai hal yang menggunakan gerobak yang dimodifikasi untuk menjajakan barang dagangannya, penduduk yang membuat bubu (perangkap ikan dari bambu), hingga memperbaiki kapal, menjadi pemandangan menarik yang tak ditemukan di Jakarta.
Sapaan dan sambutan warga pulau ini terasa lebih ramah dari Pulau Pramuka, Pulau Tidung, dan Pulau Panggang. Saya merasa di pulau ini meski lebih gersang, rasanya lebih nyaman. Di malam hari pun, suasana masih cukup ramai bila dibandingkan di Pulau Pramuka atau Pulau Tidung.
Tak terasa kami sampai juga di ujung barat Pulau Kelapa, setelah sebelumnya sempat menerabas kompleks pemakaman kampung yang keliatan angker. Tak terasa, jarak 2 pulau yang masing-masing membentang dari timur ke barat sudah kami lahap tanpa lelah. Sepotong senja yang indah pun kami terima sebagai hadiah.

Sepasang di sepotong senja
Kami berpindah ke Pulau Bulat, yang menurut penduduk setempat dimiliki oleh Tommy Soeharto. Di Pulau ini terlihat lebih bagus. Sebuah rumah yang cukup mewah, plus fasilitas pendukung, namun terkesan terbengkalai berdiri megah di situ. Sebuah bendungan mini yang digunakan untuk melabuhkan perahu motor dibangun di bibir pantai.
Kami pun memanfaatkan dermaga kayu Pulau Bulat untuk menggelar tikar, dan sarapan nasi uduk yang telah kami pesan di Pulau Harapan. Selesai sarapan, kami pun berenang-renang di dalam bendungan yang sedianya untuk berlabuh kapal tersebut. Tak berapa lama, romobongan diver dari Pulau Putri Resort juga datang ke sekitar pulau ini untuk bersiap menyelam.
Puas bermain air di Pulau Bulat, kami pun berpindah ke Pulau Bira Kecil, atau sering disebut dengan Pulau Kayu Angin. Pulau mungil ini sering dipakai untuk camping karena pantai berpasir putihnya cukup luas dan landai.

Menyeberang laut menuju ke perahu
Sayang, pasir pantai putih ini dikotori oleh mereka yang sebelumnya berkemah di sini. Saya menemukan abu bekas api unggun dan seonggok sampah berupa botol minuman dan plastik.

Pantai Pulau Bira Kecil

Di Pulau Bira Kecil
Puas bermain-main di Pulau Bira Kecil, kami pun kembali ke Pulau Harapan untuk bersiap pulang menggunakan kapal terakhir ke Muara Angke dari Pulau Kelapa, yang berangkat jam 1 siang.
Ketika perjalanan pulang ke Pulau Harapan, kami sempat mampir ke sebuah pulau milik pengusaha Tommy Winata, namun kami diusir oleh penjaga pulau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar